Kenangan yang Dibawa Kelinci Kuning

Baru saja, kututup buku kumpulan puisi karya sahabatku. Tiap huruf, kata, kalimat, alinea, juga paragraf yang ada di sana mengandung satu hal : Kenangan. Kenangan yang tercipta dari sebentuk temu, pisah, rindu, tawa, dan airmata.

Mari berbincang perihal kenangan. Satu kata ini seakan punya daya magis yang kuat. Ajaib. Luarbiasa. Ia bisa dibawa oleh apa saja, siapa saja, kapan saja, di mana saja, pada suasana hati yang bagaimana pun juga.

Seperti kali ini. Tulisan ini ada, karena sebuah benda yang berasal dari masa lalu. Masa kecil. Jadi, usia benda ini kurang lebih 23 tahunan. Sebuah benda yang disukai sebagian besar anak perempuan.

#

Seharusnya, tulisan ini tak se-puitis ini. Ini bukan puisi atau cerpen; hanya sebuah catatan yang dibuat sebagai sarana perawat kenangan. Tulisan yang kubuat untuk seseorang dari masa kecil—mungkin boleh disebut teman, meski sebenarnya kami hanya sebatas dikenalkan oleh sekolah dan kelas yang sama, saat usia masih sama-sama di bawah lima tahun.

#

Sebenarnya, aku lebih mengenal ibunya. Kondisi fisik yang agak “istimewa” ini penyebabnya. Aku lahir di usia kandungan yang masih enam bulan, dan kemudian kaki dan tangan kananku melemah. Kakiku jinjit, dan aku pun kidal. Aku tak tahu pasti istilah medisnya, tapi ini mungkin bisa disebut cerebral palsy.

Untuk memulihkan kondisi kaki dan tanganku, ibu membawaku ke rumah seorang terapis. Meski rumahnya masih satu perumahan dengan tempat tinggalku—di Perumahan Sawojajar Malang, tapi jarak rumah kami cukup jauh. Setiap sore, ibu mengantarku ke sana; kadang naik sepeda, tapi lebih sering berjalan kaki.

Karena seringnya berkunjung ke sana, aku jadi mengenal keluarga itu. Ayahnya bernama Pak Irwantoro, sang ibu bernama Bu Andri Wijayanti. Bu Andri inilah terapisku. Beliau adalah sosok ramah, sabar, dan sangat telaten. Bu Andri punya tiga orang anak lelaki; Mas Danang Irjaya, Nico Irjaya Desmonda, dan Jody Irjaya Kartika.

Aku hampir tak pernah bertemu dengan mereka, hanya sempat beberapa kali bertukar sapa dengan Nico atau Jody saat mereka melintasi ruang tamu—itu pun lebih banyak ibuku yang menyapanya.

Ibuku dan Bu Andri pun kerap berbagi cerita. Dari situlah aku tahu bahwa Nico juga satu sekolah denganku, di Playgroup Hidayatul Mubtadi'in Sawojajar.

#

Kegiatan terapi itu dilakukan hingga aku kelas dua SMP. Meski tak serutin dulu, karena saat itu aku sudah pindah ke Blitar.

Seperti sore itu, sekitar tahun 2006. Di sela-sela terapi, Bu Andri bercerita tentang Nico. Lelaki kelahiran 11 April ini rupanya gemar membaca. "Itu, di kamar Nico isinya buku semua," Begitu ucap Bu Andri yang mengundang tawa kecilku. Bu Andri juga menambahkan, bahwa ketiga anak lelakinya terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Bu Andri memang tak menggunakan jasa pembantu rumah tangga kala itu.

Di sore itu pula, Bu Andri memberikanku sesuatu. Sebuah boneka kelinci mungil berwarna kuning. Hidungnya berwarna merah muda, dengan tiga helai kumis, dan mulut menganga yang memperlihatkan dua giginya. Lucu sekali. Kalau tidak salah, begini kata Bu Andri saat itu, "Ini bonekanya Nico sejak Playgroup, buat kamu ya."
Meski awalnya kutolak, namun akhirnya kuterima juga dengan segan, diiringi ucapan terimakasih.

#

Kegiatan terapi itu berhenti saat aku mulai naik kelas tiga SMP. Aku lebih banyak mempraktikkan senam-senam sederhana yang diajarkan Bu Andri di rumah. Meski sampai saat ini masih saja ada satu hal yang menghalangi, dan masih cukup sulit kuhilangkan, yakni "malas". Hehehe. Tapi, aku akan terus berusaha untuk bisa lebih mandiri lagi.

Dengan berhentinya terapi itu, aku pun tak pernah lagi mengunjungi rumah Bu Andri. Namun, kami sempat bertemu lagi-entah di tahun berapa, saat Bu Andri sekeluarga berlibur ke Blitar, dan menginap di salah satu hotel dekat Makam Bung Karno.

#

Pagi tadi. Tak sengaja mataku tertuju agak lama pada boneka kelinci itu. Ya, hingga saat ini dia masih ada, meski tiga helai kumisnya sudah hilang.

Dan mendadak, rasa penasaranku akan kabar Nico sekarang mencuat. Iseng, kubuka search engine di Facebook, dan mengetikkan nama lengkapnya di sana.

Dan, ketemu! Ternyata dia kini kuliah di Institut Teknologi Surabaya jurusan Planologi. Begitu yang tertera pada kolom informasi di profilnya.

Tanpa pikir panjang, langsung kutekan menu add friend, meski sepertinya Nico sangat jarang membuka Facebooknya.
Aku pun menanyai teman SD-ku yang kuliah di ITS juga, apakah dia mengenal Nico. Sayangnya, temanku itu tak terlalu mengenalnya, meski pernah mendengar namanya.

#

Nico, di mana pun kamu sekarang, semoga tetap sehat dan sukses selalu ya...

Salamku untuk kedua orangtuamu, khususnya Bu Andri, terimakasih untuk segala ilmu yang telah diberikan. Semoga aku bisa tetap menerapkannya. Dan semoga beliau sehat selalu.

Juga, terimakasih untuk boneka kelinci kuning, yang menjadikan catatan ini ada.
Seperti yang tertulis di atas, catatan ini dibuat hanya sebagai sarana perawat kenangan dan ingatan.[]

Blitar, 20 Maret 2017
Adinda RD Kinasih

Komentar